Perjalanan Melintas Flores: Tulisan keenam, From Ruteng to Waelengga.

Image
Danau Ranu Mase Ruteng, dan merupakan tempat favorit anak muda Ruteng buat pacaran.

Tulisan keenam dari mungkin 10 tulisan

Ruteng, 25 Desember 2013.

Hari ini praktis gue hanya membabi aja, maksudnya cuma tidur, makan, dan ngobrol doang. Selain karena serumah ini sedang merayakan natal, jadi ya rumahnya sepi. Para penghuni semua sibuk berkunjung kerumah para kerabat.

Tidak banyak yang gue bisa lakuin selain ya tadi, leyeh-leyeh ga jelas, plus baca e-book atau paling ya liat-liat foto. Yah anggap aja program recovery sambil nungguin teman-teman gue datang ke Ruteng.

Sore hari hari teman-teman gue akhirnya datang juga. Dan mereka tampangnya capek banget. Wajarlah, dari cerita mereka, kalau mereka harus turun dari Waerebo dengan menyusuri jalan menurun sejauh 7,5KM (kalo ga salah denger), dalam kondisi hujan dan jalanan dipenuhi air.

Husnu ditemani para wanita-wanita tangguh rupanya. Sementara gue malah sibuk nikmatin cemilan natal  di Ruteng. Plus selimut hangat setiap malamnya… he3

Ruteng, 26 Desember 2013.

Pagi-pagi untuk pertama kalinya selama gue menginap, rumah ini begitu hidup. Dari jam 6 pagi sudah rame dengan suara-suara orang beraktivitas. Beberapa temen gue sudah nyala baterenya dari subuh tadi. Padahal mereka tidur sekitar tengah malam. Kuat juga ya fisiknya…

Kami punya waktu sampai menjelang sekitar jam 10, untuk bersantai sejenak sambil repacking peralatan dan tas. Maklum, semalam dimanfaatkan untuk mindahin data ke harddisk, jadilah kamera, memory card, laptop, charger, handphone, berhamburan dimana-mana.

Setelah semua selesai siap-siap, termasuk mandi air dingin tentu aja (kecuali gue yang dengan semangat 45 minta air panas), kami mengangkut semua barang-barang ke mobil om Felix yang sudah menunggu. Om Felix ini badannya gede, kulitnya gelap, rambutnya cepak, persis petinju kelas berat afro-america atau mungkin anggota green baret. Kalo ketemu di gang gelap malem-malem, gue bisa menyingkir kabur atau malah ga jadi masuk gang kalo liat dia. Tapi ya penampakannya aja yang serem, orangnya mah baik banget dan doyan ngelawak gitu. Tukang cela… *Sekilas tentang supir kami, orang flores yang baik hati dan takut sama hantu*

Setelah puas berfoto-foto dengan keluarga Yoland di Ruteng, kami bersiap-siap untuk pergi. Tidak langsung pergi meninggalkan Ruteng, tapi menyempatkan diri mampir kerumah Etik. Liat-liat kain Manggarai koleksinya dan koleksi ibu mertuanya. Sayangnya tidak banyak yang bisa kita lihat.

Setelah liat-liat kain, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mampir kembali sejenak ke rumah Yoland, karena charger kamera gue dengan begonya tertinggal diatas lemari. Udah pikun sepertinya…

Keluar dari kota Ruteng, jalanan seperti ular kembali muncul. Berkelok-kelok saingan sama ular di permainan ular tangga. Aduh kalo ini terus seperti ini, bisa jackpot ini gue. Secara gue ga tahan kalau perjalanannya belok-belok ga jelas kayak gini. Untungnya ga lama, kurang dari sejam, kami sampai di Danau Rana Mese (dalam bahasa Manggarai artinya danau yang luas). Tadinya kami hanya menyempatkan diri untuk foto-foto dari penggir jalan. Lokasi danaunya berada di lembah, jadi ada satu spot dari sisi jalan yang bisa melihat seluruh danau. Sayangnya, bau pesingnya ga ketulungan. Rupanya selain buat liat danau, juga lokasi buat absen orang-orang yang lagi kebelet pipis.

Image
Foto Danau Ranu Mase dari pinggir jalan. Tembok yang terlihat bukan tembok ratapan, tapi sepertinya lokasi favorit tempat absen yang kebelet pipis.

Karena penasaran, akhirnya kami memutuskan untuk mampir turun ke tepi danau. Setelah masuk gerbang yang nyaris seperti kota mati, karena seperti terbengkalai, kami menuju ke tangga untuk pergi ke tepi danau. Danau Ranu Mese ini seperti namannya, lumayan besar, tapi sepi. Wajar sih kalo dibilang ini merupakan tempat anak muda Ruteng pergi pacaran. Ga ada yang ganggu juga sepertinya, kecuali jin dan genderuwo kayaknya (eh di Flores ada genderuwo ga ya?).

Danaunya indah, saat itu sedikit berkabut, airnya jernih kehijauan, dan tepi-tepinya penuh dengan rerimbunan pepohonan. Bahkan sepertinya tidak memungkinkan dikelilingi, karena kayaknya diseberang pepohonannya rapat sekali seperti hutan belantara. Rada-rada spooky sih. Kalo gue sih ngajak pacaran ke tempat ini, kayak bakal pilihan terakhir. Secara gue penakut juga sama hantu-hantuan… he3

Image
Sedikit narsis di Danau Ranu Mase. Tempatnya enak buat ngelamun dan mancing.

Tidak lama kita di Rana Mese, soalnya perjalanan masih panjang banget. Target kita hari ini adalah Waelengga, rumah si Frater Ence, teman kami itu. Lumayan jauh, mengingat itu sudah di kabupaten lain. Lokasinya ada Kabupaten Manggarai Timur. Perjalanannya ya kembali seperti main ular tangga. Jalannya meliuk-liuk naik ke gunung, lalu turun lagi. Lokasi yang kami tuju adalah kawasan pantai, sementara Ruteng ditengah pegunungan. Jadi kami harus melintasi pegunungan dulu, lalu turun menuju ke daerah Borong (ibukota Manggarai Timur) yang berada ditepi pantai, sebelum menuju ke rumah si Frater Ence. *Perhatian, buat yang tidak tahan perjalanan darat, sebaiknya menenggak pil anti mabuk dulu deh…*

Sumpah ya, perjalanan di Flores ini kok ya nyaris ga ada jalan lurus. Semuanya kayak ular tangga gitu. Kiri tebing kanan jurang atau sebaliknya. Bahkan kadang-kadang ada yang kiri kanan jurang. Tapi ya, pemandangannya emang sulit dicari di Pulau Jawa. Hadehhh… Bikin kangen…

Salah satunya adalah Pemandangan dari gunung ke pantai kota Borong, Manggarai Timur. Hutan, pantai dan lautan luas membentuk gradasi, keren deh pokoknya. Sayang kami tidak sempet mangambil fotonya. Salah satu alasannya, gue ngeliatnya dalam kondisi kriyep-kriyep… he3

Kami mampir di Borong. Kotanya sepertinya kecil aja. Area paling ramainya seperti biasa adalah pasar dan pom bensin. Kami harus mampir, karena mobil harus isi bensin. Lagi pula kami harus beli perbekalan untuk mengisi perjalanan kami. Sumpah deh garing banget ya di mobil, perjalanan panjang, terus ga ada minuman dan cemilan. Ishhhh, pemandangan indah tuh harus dinikmati sambil nyemil sesuatu. Kalo ga ya ada yang kurang gitu rasanya. Ya kalo kurang olah raga mulutnya, gue suka gampang ngantuk. Jadi suka tertidur dan ga jadi nikmatin perjalanannya…

Nah pas di Borong, kami kalap. Belanja beberapa jenis camilan dan air minum. Walhasil 3 plastik besar, plus sekerdus minuman masuk ke bagasi mobil kami yang baru aja selesai isi bensin. Salah satu yang asik adalah banyak camilan lucu. Gue nemu nouget kacang yang bungkusnya warna oranye plus ada gambar kudanya, selain itu ada juga coklat ayam. Kita juga beli kacang yang dimasak pakai pasir. Lumayan enak, walau suka ga jelas isi dibalik kulit kacangnya. Kadang isinya kacang, kadang juga pasir.

Menjelang siang, sekitar jam 3an mungkin, kami sampai di rumah si Ence.  Disambut meriah sama ayah dan ibunya si Ence. Mereka pikir kita nyasar entah kemana, karena kami datang sudah menjelang sore.

Setelah beramah tamah sejenak, Ence mengajak kami semua menuju desa seberang rumahnya. Ada tiga lokasi yang akan dituju. Lokasi pertama sih dekat aja, merupakan kubur batu dari zaman megalitikum. Lalu lokasi kedua adalah kebun lontar milik ayah si Frater. Lalu yang terakhir sih katanya pantai yang memang keliatan dari jalan yang kami lewati.

Lokasi pertama sih dekat, hanya dipisahkan oleh perumahan, jalan propinsi, dan lapangan bola. Lokasinya diperbukitan yang ga terlalu tinggi. Sempat kebingungan juga kami kesana, karena ternyata si Frater ini sudah rada lupa dengan kampungnya sendiri. Maklumlah, beliau ini sudah terlalu lama hidup di Maumere. Lagi pula, patokan yang dia cari berupa menhir besar yang katanya setinggi 2-3 meter tidak lagi ditemukan (Belakangan kami diberi tahu kalau menhir tersebut dipindahkan ketempat lain).

Setelah bertanya kepada perempuan desa yang kebetulan lewat, kami diberi tahu lokasi yang sebenarnya. Letaknya ternyata tidak jauh. Lokasi yang kami tuju ternyata isinya da beberapa kubur batu sepertinya. Walau tidak besar, dan saling terpisah, tapi bisa dipastikan daerah tersebut merupakan situs megalitikum. Beberapa kubur batu dipasangi pembatas dari besi oleh balai arkeologi pemerintah setempat. Cukup menarik, apalagi belakangan kami dengar dari Ayah Frater kalau dulu pernah ada maling yang pernah mencoba menggali kubur batu tersebut. Untungnya bisa digagalin. Memang biasanya pada kubur-kubur batu megalitikum, bersama mayat disertakan juga bekal kubur berupa perhiasan, keramik atau gerabah, dan benda-benda lain sesuai adat setempat. Benda-benda arkeologi tersebut bila dijual ke pasar gelap atau kolektor bisa sangat mahal. Wajar kalau ada aja orang yang berniat menjadi pencuri benda kubur.

Image
Salah satu kumpulan batu produk budaya megalitikum yang ada di dekat desa Mabaruju.

Tidak lama kami disana, karena memang tidak banyak yang bisa difoto. Perjalanan kami lanjutkan, niatnya melihat kebun lalu ke pantai. Perjalanan ke kebun lontar Frater lumayan lama karena cukup jauh. Selama perjalanan kami harus melewati pedesaan yang banyak dihuni oleh orang Sabu. Desa tersebut bernama Mabaruju. Dominan penghuninya adalah orang Sabu. Mereka ada yang sudah lama tinggal disana, bahkan sudah beranak pinak. Namun ada juga yang hanya datang untuk menyewa kebun lontar untuk disadap niranya lalu dibuat sopi. Ada juga yang menyebut sopi tersebut sebagai Moke atau Mokeh.

Image
Rumah penduduk desa Mabaruju. Walau sudah ada yang bertembok, tetapi beberapa keluarga masih mempertahankan rumah berbentuk seperti ini.

Pembuatan sopi atau moke sebenarnya relatif sederhana. Air nira dari pohon lontar tersebut didiamkan satu malam, lalu pada hari berikutnya mereka destilasi. Selama proses destilasi tidak boleh mempergunakan peralatan logam. Jadi mereka menggunakan  tembikar dan salurannya dibuat dari bambu. Sementara penampung hasil uapannya adalah jerigen minyak goreng ukuran 5 liter. Ada dua kualitas yang dihasilkan, yang pertama adalah sopi atau moke biasa, yang merupakan hasil satu kali destilasi. Sementara kualitas kedua yang lebih mahal merupakan hasil dua kali destilasi, biasanya mereka sebut sebagai BM, singkatan dari bakar menyala. Karena sopi atau moke tipe kedua ini memang kalau dibakar akan mengeluarkan api berwarna biru. Syeremmm…

Sopi atau moke ini bisa diminum murni, atau kadang kala dicampur dengan berbagai ramuan. Sepertinya ada asimilasi budaya dengan masyarakat cina. Mirip dengan arak obat yang didalamnya direndam berbagai akar-akaran atau beberapa jenis binatang yang dianggap berkhasiat, masyarakat flores juga mengenal hal yang sama. Tapi jangan mencoba mencampurnya dengan minuman lain, efeknya bisa fatal. Atau setidaknya kepala akan pusing saat bangun dari tidur. Apalagi mencampurnya dengan minuman keras lain seperti Whiskey, Gin, Wine, dll, bisa berbahaya… Terutama buat kantong, mahal soalnya.

Image
Mama dengan cucunya sedang dilokasi penyulingan sopi atau moke. Penyulingan menggunakan tembikar dan uap hasil penyulingan dialirkan dengan bambu berdiameter besar ke penampungan.

Gue mikir sih ya, saat melihat demonstrasi oleh pemilik penyulingan sopi atau moke, serem juga ya. Itu kalau menyala, mungkin kadar alkoholnya setara dengan arak ketan atau arak beras yang sudah berumur tua, sedikit lebih tinggi dari whiskey mungkin. Rada beda-beda tipis deh sama spiritus. Mungkin masih kerabat alcohol buat pengobatan. Jadi itu tenggorokan sama lambungnya orang Flores ini terbuat dari apa ya? Apa mereka udah secara seleksi alam, secara genetis terpilih orang-orang yang mampu mendetoksifikasi alcohol lebih cepat dari orang normal mungkin ya (abisnya, sebagian dari mereka hidupnya nyaris ga pernah jauh dari botol sopi atau moke)? Sotoynya kumat…

Image
Penyadap nira dari pohon lontar. Rata-rata mereka berasal dari Pulau Sabu. Mereka memanjat pohon nira yang tinggi nyaris tanpa pengaman sama sekali.

Ga lama juga kami ditempat penyulingan Sopi. Abis udah sore sih, jadi kami mau lanjut ke pantai. Sayangnya niat kami batal. Berhubung ternyata jalan ke pantai sedang tergenang air hujan, jadi lebih menyerupai rawa, akhirnya kami mutusin buat numpang istirahat di rumah penunggu kebun ayahnya si Frater. Nama penunggu kebunnya dipanggil Ama Koba. Konon katanya sih sudah lumayan lama mereka menunggu kebun ayah si Frater. Ama Koba sekeluarga berasal dari Sabu, seperti juga banyak penghuni desa Mabaruju.

Ama Koba menyuguhi kami dengan minuman dari gula cair yang dikenal sebagai gula Sabu. Bahannya kalau ga salah dari lontar juga. Rasanya segar banget. Tidak terlalu manis, dan rasa dan wanginya berbeda dengan kalau kita minum air gula biasa.

Oh ya, selama perjalanan di desa Mabaruju ini, kita ditemani oleh penduduk desa yang namanya Robin. Dia teman sepermainan si Frater dari SD. Orang asik dan sangat ramah, mau menerangkan apa aja yang kami tanya. Termasuk ya mengantar kami ke penyulingan sopi atau moke yang masih berproses. Maklum sudah sore, jarang penyulingan yang tungkunya masih menyala.  Dia pula yang memberi tahu kamu kalau Ama Koba merupakan pedagang kain dari Pulau Sabu. Ama Koba sering mendapatkan kiriman kain dari saudara-saudaranya dari Pulau Sabu, dititipi supaya dijualkan ke penduduk sekitarnya.

Pas tahu kalau Ama Koba punya koleksi kain Sabu, kami pun bilang kalau kami ingin melihat. Wuidih, alhasil yang ada kami rebutan kain. Gue berhasil dapet satu kain untuk pria. Ukuran sedikit lebih lebar dari selendang besar. Kainnya bagus sekali. Boleh dibilang hampir semua kami dapat kain, Termasuk si Frater dapet kain juga. Cuma bedanya, dia dapat gratisan, sementara yang lainnya beli. Ya jelas lah ya, beda status juga sama kita… he3

Ada satu kain yang kami semua sepakat kain itu bagus sekali. Ukuran sebesar selimut besar. Warnanya kombinasi coklat dan hijau pupus. Indah sekali kainnya. Yoland, Sophia, Husnu dan gue sepakat kalau kain itu bagus sekali. Sayangnya menurut Ama Koba, kain tersebut tidak akan ia jual, “Ini kain penutup peti saya kelak, jadi tidak akan saya jual. Saya pesan khusus untuk keperluan itu.” Kami pun terdiam, menghormati keputusannya untuk tidak menjual kain itu. Walau pun untuk beli kain itu, sepertinya kami harus meminjam uang dari teman-teman yang lain. Patungan lah setidaknya, karena kainnya sangat mahal.

Image
Ama Koba dengan kain kebanggaannya. Kain yang katanya kelak akan menjadi penutup petinya saat beliau meninggal.

Hasil rebutan kain adalah, kami harus pulang dalam kondisi gelap-gelapan. Desa ini nyaris ga ada penerangan jalan sama sekali. Jadi jalan desa yang masih berupak jalan tanah dan batu-batu ini benar-benar gelap. Ditambah hujan turun. Kami mampir dirumah Robin untuk mengambil daun pisang. Kebayang ga sih, jalan ditengah hujan, berpayung daun pisang. Haduh romantic banget…

Sayangnya kenyataannya tidak seromantis itu. Desanya lumayan seram. Karena beberapa rumah, punya kuburan dihalamannya. Ada rumah-rumah kosong, dan jalannya gelap banget nyaris ga keliatan apa-apa. Kagak jadi deh romantis-romantisan. Ya dari pada belaga romantic malah nyusruk kesandung batu. Lagi pula ga da juga yang bisa diromantisin… he3.

Belum lagi kami harus melewati kawasan kubur batu. Tapi itu sih tidak seberapa seram. Lapangan bolanya ternyata lebih seram. Jauh lebih seram dari lokasi kubur batu. Karena cahaya hanya remang-remang, kami ngeri. Takut kalau salah jalan dan nginjak tai sapi…

Akhirnya kami sampai kembali kerumah si Frater dalam keadaan selamat, dan kaki juga selamat dari jebakan ranjau lembek di lapangan bola. Selesai makan dan mandi, rupanya sudah ada tamu berdatangan. Mendengar ada tamu dari Jakarta, rupanya menarik perhatian. Beberapa tamu tersebut sengaja datang untuk ngobrol dengan kami. Ada wartawan, ada caleg, ada juga penduduk setempat, dan juga supir kedua kami yaitu Om Ignas.

Aduh ini beneran deh obrolan berat. Mulai dari situasi lokal, sampai politik Negara. Pusing juga deh gue dengernya. Satu persatu temen-temen gue melarikan diri. Sekitar jam 11, sisa tinggal gue doang yang bertahan. Meladeni mereka bicara dengan santai, karena ya sambil ngemil. Jadi focus gue ya kecemilan gue. Jawab semampu gue. Kalau ga tau ya simple aja, gue bilang ga tau, ga ngerti. Dari pada sotoy trus keliatan begonya, ya mending pasrah. Rupanya mereka puas juga ngobrol sama gue, beberapa cerita gue sepertinya mereka anggap menarik. Lumayan dah, berguna juga pengalaman ngajar. Mempermudah menerangkan hal-hal yang relatif rumit, supaya jadi lebih sederhana dan mudah dipahami. Untungnya pengetahuan yang gue dapet selama ngobrol dirumah Yoland di Ruteng bisa jadi bekal buat lebih memahami masyarakat Flores.

Lama juga kami ngobrol, Kami bubar sekitar jam 1 malam. Itu pun setelah ayah si Frater rupanya kasihan ngeliat gue yang udah mulai kriyep-kriyep. Dia ambil inisiatif buat membubarkan pertemuan. Maklumlah orang Flores ini demen banget ngobrol. Apalagi kalau sudah ada sopi dan cemilan, pembicaraan semakin lancar jaya. Mau sampai pagi juga jadi. Lah sementara gue pagi-pagi udah harus siap-siap lagi berangkat ke Riung lalu ke Mbay.

Setelah masuk kamar, mata dah ga tahan lagi. Ngobrol sebentar dengan Husnu yang rupanya masih terjaga. Sayangnya gue cuma butuh kurang dari 15 menit buat segera menutup mata dan pengsan…

*To be continued


Tinggalkan komentar