Demi Secangkir Kopi

IMG_2941
Traditional coffee seller. Seorang pedagang pasar di Bajawa, Flores, sedang menyendok kopi untuk dijual. Kopi-kopi tersebut merupakan produksi kebun mereka. Dengan mengandalkan kaleng atau wadah plastik, dan menggunakan takaran dari gelas beling, mereka menjual bubuk kopi produksi sendiri diantara barang dagangan lainnya (Bajawa, flores, 2013).

 

What do you want?”

“Just coffee. Black – like my soul.”

― Cassandra ClareCity of Bones

 

 

Entah sihir apa yang diletakkan Tuhan pada biji-biji kopi. Begitu banyak orang tergila-gila, mungkin bisa jadi ada sebagian orang merasa hidup hari itu tidak lengkap tanpa secangkir kopi dipagi hari. Bahkan menghabiskan waktu di warung kopi atau kafe sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia bahkan dunia. Mereka bisa tahan berjam-jam untuk sekedar berbincang dengan teman. Tidak hanya itu, sebagian menggunakan kafe sebagai lokasi untuk bekerja atau melakukan pertemuan bisnis. Maklum beberapa kafe memberikan fasilitas yang memadai untuk bekerja, terutama untuk freelancer tidak berkantor seperti saya. Colokan listrik, wifi kencang, bangku yang nyaman, serta tentunya pilihan makanan dan minuman yang lumayan beragam. Membuat kita betah berlama-lama di kafe ditemani secangkir kopi, sekumpulan teman, atau setumpuk kerjaan. Lanjutkan baca “Demi Secangkir Kopi”

Mahluk Imut dari TN Komodo

ACE_0944-Edit
Rusa (Cervus timorensis) merupakan salah satu jenis Mammalia yang menjadi penghuni TN Komodo.

Taman Nasional komodo merupakan salah satu taman nasional yang berada di kawasan timur Indonesia. Tepatnya terletak di ujung barat Pulau Flores. Taman nasional yang juga merupakan World Heritage Site tersebut, terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau Padar, Pulau Rinca, dan tentu saja Pulau Komodo. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil dan pulau karang. Luas total kawasan tersebut pada saat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan oleh Menhut pada tahun 2000 adalah 132.572 Ha.

ACE_0954-Edit
Rusa mudah sekali ditemukan di kawasan TN Komodo. Terutama bila dekat dengan sumber air

Lanjutkan baca “Mahluk Imut dari TN Komodo”

Perjalanan Melintas Flores: Tulisan keenam, From Ruteng to Waelengga.

Image
Danau Ranu Mase Ruteng, dan merupakan tempat favorit anak muda Ruteng buat pacaran.

Tulisan keenam dari mungkin 10 tulisan

Ruteng, 25 Desember 2013.

Hari ini praktis gue hanya membabi aja, maksudnya cuma tidur, makan, dan ngobrol doang. Selain karena serumah ini sedang merayakan natal, jadi ya rumahnya sepi. Para penghuni semua sibuk berkunjung kerumah para kerabat.

Tidak banyak yang gue bisa lakuin selain ya tadi, leyeh-leyeh ga jelas, plus baca e-book atau paling ya liat-liat foto. Yah anggap aja program recovery sambil nungguin teman-teman gue datang ke Ruteng. Lanjutkan baca “Perjalanan Melintas Flores: Tulisan keenam, From Ruteng to Waelengga.”

Perjalanan Melintas Flores: Tulisan kelima, Ruteng Before Christmas

Pemandangan dari depan gerbang masuk Situs Liang Bua.

Tulisan kelima dari ga tau berapa tulisan

Ruteng, 24 Desember 2013

Kenapa juga setiap musim liburan, gue selalu bangun kepagian. Bahkan matahari aja masih males keluar, gue dah melotot ga bisa tidur lagi. Walhasil, gue milih buka e-book. Untungnya gue punya stok e-book lumayan banyak di hape, ngebantu banget deh. So, daripada leyeh-leyeh ga jelas, gue mutusin buat ngelanjutin baca novel fantasi yang udah gue donlot. Lumayan buat nunggu waktu sampai ada bunyi kehidupan di rumah ini.

Yak buat yang belum tau, sekarang gue tinggal di rumah keluarga Yoland. Penghuni rumah ini adalah sang pemilik, Om Stef dan Tante Emi, lalu ada juga anak-anak dan juga cucu mereka. Gue tinggal di rumah ini soalnya gue pikir kondisi gue tidak cukup fit untuk sampai di Wae Rebo. Kondisi cuaca yang cenderung terus-menerus hujan, suhu dingin dan jalan mendaki yang harus ditempuh sampai sekitar 3-5 jam berjalan kaki, bisa-bisa sampai disana, gue cuma numpang kelenger dan turun ditandu. Nyusahin aja… (lha ini numpang di rumah orang juga nyusahin kaleee… *keplak pala sendiri* 😛 )

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya gue putusin kalau gue langsung ke Ruteng aja. Dan itulah kenapa sekarang gue sudah terdampar disana, di rumah yang asing buat gue. Jadi gue kepikiran gimana caranya melewatkan dua hari satu malam lagi tanpa teman-teman gue, tanpa gue merasa terasing.

Setengah 7 pagi, rumah sudah mulai ramai. Gue putuskan untuk keluar kamar. Ternyata si Om Stef sudah duduk di ruang tamu. Setelah urusan kamar mandi selesai (plus menggigil dan langsung melek pas abis cuci muka, karena airnya kaya air es), gue duduk manis di ruang tamu. Tante Emi ternyata sudah menyiapkan teh hangat dan kue-kue buat gue sama Om Stef. Kebetulan hari ini adalah sehari sebelum natal, jadi rumah ini penuh dengan kue-kue (rezeki gue bagus euyyyy… he3).

Setelah ngobrol cukup panjang dengan Om Stef (plus sedikit diinterogasi, yang dengan suksesnya bisa gue belokkan), gue disuruh mandi. Air panas seember sudah diambil dari dapur dan dituangkan ke ember besar. Gue pikir itu bakal panas banget ya, secara uapnya aja bikin serem. Ternyata, air panas segitu itu pas banget. Nyaman banget buat mandi di udara Ruteng yang dingin banget kayak gini. Nyamannnn… Sayang ga bisa buat berendem nih.

Makan adalah hal krusial bagi orang flores. Mereka akan memastikan tamunya dijamu dengan baik dan kehalalan makanannya bisa dipastikan. Tapi ya satu hal yang menjadi masalah buat mereka adalah, porsi makan gue yang terlalu sedikit. Jadi tiap kali makan, gue selalu sukses bikin mereka ngegerutu dengan porsi makan gue. Lha gue biasa makan sedikit tapi ngemilnya rutin, rada ga match ma orang Flores yang porsi nasinya suka ngajak perang (alias banyak banget). Porsi utama mereka itu mungkin setara dengan dua atau tiga porsi standard nasi padang.

Selesai makan, gue ngeliat para pria penghuni rumah ngumpul didekat dapur. Gue pun dengan cueknya mencoba berbasa-basi dan mengenalkan diri disana. Lumayan sukses, kami ngobrol rame-rame sampai lebih dari sejam. Sampai waktu mereka harus berangkat beraktivitas.

Rupanya dari obrolan tadi, Nanik, Hans dan Risto berniat mengajak gue jalan-jalan. Nanik dan Hans adalah adiknya Yoland, sementara Risto adalah kerabat mereka. Nanik usianya mungkin sekitar 30an, Hans mungkin sekitar 25an, sementara Risto masih SMA.

Lumayan juga, hari itu ada matahari setelah kemarin-kemarin katanya Ruteng nyaris selalu gerimis dan bekabut.  Jam sepuluh gue udah duduk dengan manisnya di ruang tamu yang penuh dengan hiasan natal plus tambahan kue-kuenya di meja tamu. Menunggu orang-orang yang mau ngajak gue jalan berdatangan. Tunggu punya tunggu kok ga da kemajuan ini. Masa cuma duduk manis doang.

Setelah puas ngemil, gue coba tanya ke Hans, “Ada masalahkah? Tidak ada motor yang bisa dipakai?”

“Bukan begitu Abang, coba abang tunggu sebentar ya, sabar ya. Ini Ruteng kehabisan BBM, dari tadi kita antri bensin di pertamina. Lagi pula ada razia pedagang bensin eceran, jadi para pedagang takut. Tidak ada yang buka.”

Untung 15 menit kemudian mereka dapat bensinnya. “Kita beruntung abang, ada tetangga yang jual bensin dan mau jual ke kita dua botol.”

Setelah isi bensin, lalu kami berangkat. Tujuan kami adalah Liang Bua, sawah spider web, dan dataran tinggi yang bisa melihat Ruteng secara keseluruhan. Sempat juga disebutin nama sebuah danau (gue lupa namanya) tapi katanya kejauhan.

Tujuan pertama kami adalah Liang Bua. Gua tempat fosil manusia kerdil dari Flores (Homo floresiensis) ditemukan. Fosilnya sendiri ditemukan oleh tim gabungan Australia-Indonesia yang dipimpin Mike Morwood, arkeolog dari Australia pada tahun 2003. Katanya sih orang lokal percaya mereka merupakan terkait dengan Ebu Gogo, mahluk yang mendiami daerah tersebut yang sering mencuri makanan dan menculik anak kecil.

Terlepas dari masalah mahluk, roh, spiritual dan sebagainya, buat sampai ke Liang Bua butuh perjuangan. Jaraknya sih ga jauh, mungkin cuma sejam dari Ruteng. Tapi jalannya itu lho, amit-amit. Gue pikir perjalanan ke Ruteng dari Labuan Bajo udah parah, ternyata ini lebih parah. Jalannya kecil, karena merupakan jalan desa, lalu berkelok-kelok turun naik menyusuri bukit dan hutan (biar keliatan dramatis, padahal sih cuma kebun kopi dan kemiri penduduk desa). Sumpah deh, ini jalanannya menyiksa motor. Apalagi salah satu motor, rem belakangnya tidak berfungsi normal. Hadehhh… Kebayang kan kayak apa?

Suatu saat Nanik yang ngeboncengin gue lupa jalan, lalu dia Tanya sama penduduk. Itu om-om yang ditanya, tampangnya sih rada seram, tetapi saat bicara, dengan ramah dia tunjukkan arahnya pada kami. Oiii, orang flores ini, tampangnya aja seram, tetapi mereka sesungguhnya orang yang sangat ramah. Wajahnya keras, tetapi kalo kita tersenyum sama mereka, balasannya  senyum mereka lebih lebar dan tulus.

Sekitar satu jam melewati jalan yang belokannya lebih parah dari mainan ular tangga, sampai juga kami di Liang Bua. Berhenti sebentar di batas desa, menikmati pemandangan pesawahan, sungai dan perbukitan untuk menghilangkan rasa tegang saat naik motor. Bukan apa-apa, resikonya kalo salah nikung, ga bisa ngendaliin motor, urusannya kalo ga nyemplung ke selokan, sawah, kebun kopi, hutan kemiri, ya masuk jurang yang penuh batu karang.

Sesampainya di Gua Liang Bua (liang = gua, Bua = dingin), sialnya pagar masuknya dikunci. Mampus deh, udah jauh-jauh, eh ga bisa masuk. Untungnya ya, pemandangan disini tuh bagus banget. Posisinya yang berada di lembah, bisa melihat ke area sekitarnya dengan luas. Bukit yang hijau, sawah luas, sungai dan batu-batu kapur disekelilingnya. Guanya sendiri sih cuma bisa diliat dari depan. Kesan yang gue dapetin, rada kurang fasilitas penunjang pariwisata. Walau pun kalau masalah kebesihan sih sangat baik. Tidak ada sampah bececeran.

ACE_1313
Risto, Nanik, dan Hans sedang santai didepan gerbang Situs Liang Bua.

Akhirnya setelah foto-foto sebentar, Hans dan Nanik mutusin buat mengunjungi gua yang satunya lagi. Eh karena lupa, kami terlewat. Untungnya bisa ditemukan. Setelah harus jalan nyusurin semak-semak dan pohon bambu, sampe juga deh. Sialnya gue cuma pake sandal jepit, sepatu ga gue bawa. Alang-alang yang tajem ma nyamuk merupakan musuh buat kaki gue yang halus dan ga tertutup apa-apa (untungnya pake celana panjang, kalo engga bisa bertato merah-merah kaki gue).

ACE_1307
Pemandangan dari muka gua Situs Liang Bua.

Gua yang dimaksud cuma gua pendek, dan ternyata merupakan pintu belakang dari gua Liang Bua yang terkenal. Sayangnya gua-gua kecil penghubung antara gua depan dan gua belakang sudah tertutup lumpur. Jadi kami hanya bisa liat mulut gua yang mungkin jauhnya tidak lebih dari 15m.

ACE_1334
Pemandangan dari dalam gua yang kami masuki di kawasan Situs Liang Bua.

Setelah puas sekaligus foto-foto, akhirnya kami mutusin buat pulang ke Ruteng dan melihat daerah lain disana. Perjalanan lebih parah dari berangkatnya. Kalo berangkat banyakan menurun, maka sekarang lebih banyak menanjak. Secara yang dibawanya berat, motornya jadi lebih tersiksa. Udah gitu ditambah hujan gerimis, jalanan jadi bertambah licin. Tetapi ada yang membanggakan, pertama kalinya gue disangka bule… Ada anak-anak kecil yang teriak “mister-mister, foto mister…” wah kalo ga dimotor mah gue udah joged-joged, kapan lagi gue dianggap bule. He3…

Nanik mengajak kami menuju belakang bandara Ruteng (eh sempet liat ada sapi di dekat landasan pacu). Bandara Ruteng ini kecil aja, lokasi unik di dataran tinggi. Ujung landasan pacu berbatasan dengan jurang di lereng perbukitan. Jadi ya kalau ga kuat naik pesawatnya, langsung masuk jurang dan nyungsep di sawah.

Tapi pemandangannya emang keren banget dari balik pagar landasan pacu. Sawah menguning diantara perbukitan hijau. Keren banget, sawahnya berbentuk sarang laba-laba (spider web) dan isinya padi yang siap panen. Sementara di puncak-puncak bukit ada kabut tipis, lalu langitnya penuh awan gelap. Asli dingin…

ACE_1375Pemandangan sawah dari jalan kecil didekat ujung landasan pacu Bandara Ruteng.

Cukup lama kami disana, sampai pukul dua. Karena perut lapar, ya akhirnya memilih pulang. Ditambah lagi hujan deras, semakin semangat kami buat kembali ke rumah. Niat mau makan dil luar tidak kesampaian. Ya secara, menjelang natal, Ruteng seperti kota mati. Tidak banyak kios yang buka, termasuk tempat makan. Untunglah di rumah Yoland sudah tersedia makan siang, asoy…

Semua rencana hari ini berantakan karena hujan turun. Akhirnya diputuskan ya cuma leyeh-leyeh dirumah aja deh. Lumayanlah buat recovery, ngembaliin kondisi tubuh gue. Lagi pula sekalian isi energi, alias ngemil kue-kue natal yang enak-enak, terutama kacang gorengnya…. (tamu kurang ajar, dah ditampung, eh ngemilnya ga kira-kira banyaknya).

Sore hari, gue ikut Hans ke Gereja Santo Michael buat liat misa natal. Lokasi dekat, bisa ditempuh jalan kaki sekitar 10 menit. Hujan rintik-rintik, menjelang maghrib. Dingin banget, maksa gue pake sweater.

Pengamanan malam natal di Ruteng kali ini ketat sekali. Banyak polisi berjaga di jalan menuju gereja tersebut. Untuk Gereja Santo Michael aja, mungkin lebih dari 20 orang polisi yang berjaga, ditambah pengamanan lokal yang juga cukup banyak. Polisi-polisi ini walau terkesan santai, tapi tetap waspada. Terbukti tuh saat gue lagi asik-asik foto, eh sekuriti ma polisi nyamperin gue. Mereka nanyain identitas gue, alasaan mereka gue muka baru, dan foto-foto di lokasi gereja. Demi kebaikan bersama, gue berniat ngeluarin ktp gue. Eh tapi gue baru inget, KTP gue kan di Sophia buat urus-urus segala macam tiket. Sial, KTP gue sampe ke Wae Rebo, guenya engga. Akhirnya gue keluarkan kartu identitas yang lain. Gue jelasin kalo gue turis dari Jakarta yang sedang melakukan perjalanan melintasi flores. Dilalahnya, Hans mengenali polisi yang mendekati gue, ternyata tetangganya dia. Amanlah gue, mereka ngizinin gue foto-foto asal tidak masuk kawasan gereja. Belakangan baru gue tau, kalo Ruteng dan seluruh kawasan NTT, sedang dilanda isu akan ada upaya dari pihak luar mengacaukan acara di malam natal. Pantesan aja polisinya bersiaga penuh.

ACE_1416

Suasana pengamanan di luar Gereja Santo Michael, Ruteng.

ACE_1391
Para perempuan Ruteng sedang menuju ke Gereja untuk melakukan misa natal. Kain adatnya bagus sekali Mama.

Akhirnya niat gue buat motret misa natal gagal sudah. Dari polisi dan sekuriti yang gue ajak ngobrol, akhirnya gue tau, kalo motret natal harus izin dulu sehari atau dua hari sebelumnya. Selain itu, mereka bilang nyaris tidak mungkin masuk ke area-area sensitive seperti katedral, tanpa izin dari pihak berwenang. Tidak beda dengan Jakarta ternyata.

ACE_1428
Hiasan natal lazim ditemukan di jalan-jalan seputar kota Ruteng. Ini sepertinya Santa sedang memegang lampu jalan (tapi kata Yoland, lebih mirip Santa sedang memegang botol minuman… he3). No offense yaaa…

Kembali ke rumah Yoland, dan melanjutkan ngemil yang tertunda. Hans pergi ke Katedral Ruteng untuk Misa Natal. Rumah ini sepi banget, karena hampir semua orang ke gereja. Penghuninya cuma gue, sampai sekitar jam 8 Nanik pulang dari rumah pamannya. Kami ngobrol hingga larut malam. Apalagi setelah Hans datang sekitar jam 9, obrolan makin seru.

Banyak hal yang kami obrolin, termasuk berbagai budaya orang Flores, terutama orang Manggarai (sukunya keluarga Yoland). Menurut Nanik dan Hans, orang Flores itu wajahnya aja yang seram, tetapi mereka sebenarnya sangat ramah. Asal aja kita mau terbuka, senyum dan mau menyapa dengan ramah.

“Kalo abang Tanya dengan ramah dan sambil senyum, itu jawaban bakal ngalir dari orang yang ditanya. Coba abang ingat waktu tadi kita tanya jalan ke Liang Bua, Si om jawab itu pertanyaan sambil tunjuk-tunjuk arah. Dia sengaja mendekat ke kita, lalu dia jelaskan sampai kita mengerti. Kalo perlu, dia antar kita sampai tujuan.”

Tidak hanya tentang prilaku orang flores, Nanik dan Hans juga cerita tentang banyak budaya orang Manggarai (salah satu suku di Flores). Termasuk tentang Caci, salah satu permainan adat yang dimainkan dua orang pria, mirip dengan duel. Mereka saling bergantian menyerang dengan cambuk yang terbuat dari kayu yang diujungnya diikatkan tali dari kulit kerbau. Semakin jago seorang bermain caci, semakin dia bisa mengarahkan ujung cambuknya ketempat yang dia inginkan, terutama daerah sekitar mata. Katanya sih zaman dulu, permainan caci ini juga terkait dengan prestise dukun dari-tiap-tiap pihak yang sedang bertarung. Maklum si dukun ini tugasnya melindungi maupun membuat serangan semakin dahsyat.

Pembahasan permainan caci ini cukup panjang, sampai terkait dengan iklan minuman energi yang salah kaprah.

“Coba abang lihat iklan minuman itu, yang settingnya di Labuan Bajo, ada orang sedang main caci kan? Liat di iklan itu, dua orang yang sedang caci, mereka masing-masing pegang pecut dan tameng. Salah itu… Harusnya, bila satu pegang pecut, maka yang satu pegang tameng dan kayu. Lalu mereka hanya boleh menyerang sekali, lalu saling ejek dengan syair, kata-kata, nyanyian maupun tarian. Lalu setelah berganti alat, mereka bertukar yang satu menyerang, sementara yang lain bertahan. Jadi tidak ada itu kamusnya dalam caci, mereka saling menyerang. Selalu bergantian dan saling menjaga sportivitas”

Tidak hanya budaya caci, tetapi mereka juga bercerita tentang adanya perang tanding antar suku atau klan bila secara adat suatu masalah ga bisa diselesaikan. Berbeda dengan perang suku, perang tanding ini dilakukan secara jantan. Duel man to man, laki banget…

“Perang tanding itu dilakukan satu lawan satu, bang. Kalau satu lawan sudah jatuh, digantikan oleh orang lain yang urutannya sudah ditentukan. Yang hebatnya, perang tanding ini tidak hanya bergantung pada kehebatan orang-orang yang berduel, tetapi juga dukun-dukun yang bertugas melindungi para jagoan klan yang bertarung. Selain itu bang, perang tanding itu ditentukan rapat adat yang melibatkan kedua klan yang bertikai. Terutama untuk menentukan tanggal dilaksanakannya. Setelah sepakat, semua pihak dari setiap klan akan bersiap-siap menghadapi itu.”

Keren juga budaya Manggarai ini. Rupanya kegagahan dan solidaritas merupakan hal yang dijunjung tinggi. Kagum sekaligus ngeri. Kalau sengketa selalu diurus pake perang tanding, eh bisa-bisa tidak banyak jagoan Manggarai yang tersisa.

Tapi sekuat-kuatnya gue, akhirnya nyerah juga. Menjelang jam 1, kriyep-kriyep juga mata gue. Pembicaraan diakhiri, waktunya merasakan hangatnya selimut, mengusir udara dingin Ruteng. Yes, waktunya kruntelaaaannnn… c u folks…

*To be continued

Perjalanan Melintas Flores: Tulisan keempat, From Padar to Ruteng

ACE_1168-Edit
Pink Beach Pulau Padar tempat kami menginap.

Tulisan keempat dari entah berapa tulisan.

Pulau Padar-Labuan Bajo-Ruteng, 24 Desember 2013.

Pagi itu gw kebangun sekitar jam lima pagi. Rupanya obat batuk dua sachet cukup ampuh untuk bikin gue tidur kaya mayat. Sempet terbangun sebentar entah jam berapa, terbangun gara-gara bunyi geluduk ma hujan deras. Tapi ya sudah, setelah itu gue pengsan lagi. He3…

Jam 6 pagi gw keluar buat duduk di bangku yang ada di teras kantor PHPA tempat kami nginap. Udaranya seger benget. Hawa laut bercampur bau tanah tersiram air, plus suasana sejuk akibat hujan rintik-rintik terasa banget. Beda banget deh sama hawa Jakarta kota tercinta. Matahari masih baru ngintip dari balik perbukitan di pulau seberang. Jadi cuaca masih temaram, rada-rada twilight gitu deh. Apa coba…

Pemandangan pagi ini di halaman yang ga punya pager itu adalah, rusa yang lagi sibuk ngunyah. Iya, rusa-rusanya lagi sarapan. Penampilan para rusa itu rada beda dengan pada saat gue baru dateng. Sekarang rusanya seperti abis dimandiin. Bersih gitu, mirip-mirip rambut kelimis abis keramas atau abis dikasih jelly. Rapih banget deh pokoknya, ga lumutan dan lumpuran kaya kemarin.

ACE_0923-Edit
Rusa-rusa di Pulau Padar.

Sebentar kemudian hujan rintik-rintik berkurang, belum berhenti sama sekali sih, tapi sepertinya sudah bisa diterobos tanpa terlalu membahayakan kamera. Gue langsung ambil kamera, dan cari-cari sandal gunung yang semalam gue tinggal di tangga teras. Eh ternyata ga percuma lho ninggalin sandal di tempat yang kehujanan, sandal gue bersih… he3.

Ga sempet ambil jaket, dah nekat jalan mendaki ke bukit sebelah kantor PHPA. Abis keliatannya pendek sih, jadi PD aja deh gue. Ternyata gak pendek juga, itu cuma pendakian awal. Sampai diatas terbentang sabana berbukit-bukit sepanjang pandangan mata (edisi lebay…). Langsung berasa mini pas gue sampai di padang itu.

ACE_0984-Edit
Pink Beach yang ga keliatan pink kalau di foto. Ini pantai tempat kami menginap.

Pas sampai diatas tanjakan, ke kanan menuju padang sabana luas hingga ke gunung karang yang sedang tertutup awan, sementara ke kiri menuju ke tebing yang menghadap ke pantai. Berhubung fisik gue pas-pasan ya, akhirnya gue putusin buat kearah tebing sajalah. Siapa tau kalau stressnya muncul kan tinggal melangkah… ehhh

Ternyata pas sampai di ujung tebing, pemandangan keren banget. Kalau sebelah kiri adalah pantai tempat gue menginap yang warnanya pink, sebelah kanan tebing tempat gue berdiri ada pantai berpasir putih. Mungkin panjang pantai itu sekitar 300-400m. Pokoknya keren…

ACE_1017-Edit
Pantai disebelah tebing. Pasir putih memanjang hingga ke ujung pulau.

Menikmati semua pemandangan indah itu ternyata makan korban. Sendal gunung gue terpaksa harus kehilangan telapaknya. Batuan karang hitam tajam yang muncul diantara rerumputan serta air hujan rupanya bikin lemnya tidak mampu bertahan. Walhasil telapaknya harus gue tenteng-tenteng sepanjang gue keluyuran, sampai akhirnya gue tinggal di gazebo saat gue turun nyusurin pantai.

ACE_1006-Edit-Edit
Pemandangan dari atas bukit savana.
ACE_1043-Edit
Yoland dan Om Hamid sedang mendaki salah satu bukit di dekat tempat kami menginap.

Om hamid bilang, diujung pantai ada laguna yang tertutup bakau. Semangatlah gue ma yoland buat kesana. Kami pikir bisa lihat lagunanya dari perbukitan, ternyata lagunanya terturup rapat sama bakau di pinggirnya. Memang sih ada celah buat masuk diantara tanaman bakau, tapi berhubung  Om Hamid sudah sempat bilang kalau di laguna ada buaya air asin, ciutlah nyali kita. Masa jauh-jauh ke flores Cuma buat cemilan buaya di Pulau Padar, kan ga lucu. Pengen sih foto karya gue ngetop dan jadi bagian artikel dari majalah atau mungkin Koran. Tapi ya ga penen masuk di Koran atau majalahnya dalam bentuk obituary dengan pasfoto gue sebagai ilustrasinya.

Puas menjelajah bukit-bukit savana (padahal sih Cuma naik bukit, ngos-ngosan, lalu turun lagi), kami memutuskan main air di pantai. Sayangnya pantainya sedang tidak bisa dibuat berenang. Arusnya terlalu deras, dan anginnya terlalu kencang. Akhirnya semua sibuk motret di pantai.

ACE_1120
Apa aja difoto sama mereka. Woro dan Sophia sibuk motret bintang laut.
ACE_1111
Laut Pulau Padar jernih banget. Sampai kita bisa foto seperti ini dari atas air.

Jam 9 pagi kami sarapan, lalu beres-beres. Setiap kali makan di Pulau Padar, ada yang istimewa, yaitu sambelnya. Dalam waktu singkat, sambel secobek itu ludes tak bersisa. Emang dah, kalau urusan sambel, temen-temen gue bisa saingan sama komodo dalam hal kebuasannya.

Selesai sarapan dan beres-beres, kami langsung ke dermaga. Dengan bawaan yang persis pengungsi, kami masih sempet-sempetnya foto-foto narsis di dermaga. Maklum, alasannya sih nunggu kapal untuk bisa sandar. Memang dermaga Pulau Padar ini ga bisa disandari kapal kalau kondisi lautnya sedang surut. Jadi kami menunggu sekitar setengah jam di dermaga, sampai Om Sidik bisa merapatkan kapalnya. Butuh perjuangan ekstra sepertinya, maklum arus dan angina lumayan kencang saat itu.

ACE_1186-Edit
Sesi foto narsis. (Ki-ka) Ence, Husnu, Om Hamid, Risto, Sophia, Yoland, Hans, Woro, dan Dewi. Tukang fotonya Gue.
ACE_1210-Edit-2
Om Sidik sedang berjuang untuk menyandarkan kapal di dermaga. Arus dan angin kencang bikin sulit kapal untuk sandar.

Perjalanan pulang dari Pulau Padar tidak semulus saat pergi. Firasat kami, perjalanan ini bakal tidak selancar kemarin. Apalagi setelah melihat anak buah kapal duduk di depan kapal. Biasanya kalau cuaca rada kurang bersahabat, para pelaut Bajo suka duduk di depan kapal. Kalau laut sangat tidak normal, mereka berdiri di atas kapal. BIla lebih parah lagi, mereka akan membuka bajunya, lalu melempar telur. Pelaut Bajo percaya penguasa laut adalah seorang wanita. Mereka juga percaya kalau dengan membuka baju, penguasa laut bisa ditenangkan dan menjaga perahu mereka  (sensualitas dalam mitos Suku Bajo). Kalau laut sepertinya sudah tidak terkendali lagi, mereka putar balik dan sandar di dermaga. Ngapain buang nyawa percuma…

1387773400404-Edit
Si Om yang duduk dengan khusuknya. Mandangin laut yang mulai bergolak.

Om Sidik ini keren loh, pinter banget milih jalur. Awalnya gue pikir akan menerobos hujan. Tetapi saat dijalani, kapalnya seolah melewati celah diantara dua daerah hujan. Sepertinya hujannya terbelah dikiri dan kanan perahu. Keren banget.

Awal perjalanan pulang kami di kapal, kami tertawa-tawa menghadapai ombak dan arus laut. Kapal kami terguncang-guncang pelan. Tetapi lama-lama guncangan semakin besar. Saat itu Om Sidik menegur kami untuk tidak tertawa. Kami pun seketika terdiam. Lalu ombak di laut semakin besar, kapal bukan lagi terguncang, tetapi mulai seperti terbanting-banting. Baju kami sudah basah oleh cipratan air ombak yang terhantam perahu. Ombak tidak besar, mungkin hanya sekitar 1m lebih sedikit lah, tetapi karena kami melawan arus, makan guncangan sangat terasa. Naik kapal kali ini merupakan perjalanan yang terasa menguras tenaga. Karena kami harus berpegangan erat pada tiang kapal. Hilang sudah senyum ceria kami, yang ada cuma sesekali senyum pahit. Walau demikian, beberapa kapal penyeberangan orang Bajo yang ukurannya hanya setengah kapal kami, masih sempat melambaikan tangannya ke kami. Padahal kapal-kapal tersebut kadang-kadang seperti hilang ditelan ombak laut.

Selama perjalanan itu, hilang sudah semangat memotret kami. Semua peralatan masuk tas dan semua tas ditaruh di kabin supaya tidak basah. Bagian atas kapal nyaris semuanya basah tersiram cipratan ombak.

Kami tidak tahu berapa lama kami di atas kapal, tapi seketika terasa lega saat kami masuk ke Teluk Labuan Bajo. Perairan seketika berubah drastis. Nyaris tidak ada ombak besar disana. Laut cukup tenang, kapal pun melaju tenang.

Sesampainya kami di dermaga, gue menyempatkan diri bertanya kenapa kami dilarang tertawa. Menurut awak kapal, penguasa laut akan berpikir kalau kita senang dengan ombak yang ada bila tertawa-tawa. Kalau senang, akan dikirim ombak yang lebih besar. Perairan sekitar TN Komodo memang terkenal cukup ganas. Sering ditemukan arus berpusar di perairan tersebut. Bikin ciut nyali.

Phewww… Sampai sudah di dermaga. Daratan… Daratan… Solid Ground…

Setelah diguncang-guncang selama perjalanan di atas laut, yang pertama muncul di otak kami adalah, “lapar”. Musti cari makanan segera. Terutama buat si Frater Ence. Secara dia kelenger sepanjang perjalanan karena ketularan flu ma batuk dari gue… :p

Saat di dermaga, kami dijemput Om Felix, dia orang yang akan menyupiri kami dari Labuan Bajo hingga ke Kelimutu. Orangnya tinggi besar mirip petinju kelas berat Afro-American, serem sih keliatannya. Tapi ya, ternyata dia orangnya baik banget. Suka ngelawak sepanjang perjalananan. Nyupirnya juga keren banget, tidak bikin pusing. Maklum deh, jalanan di Flores ini rada mirip arena slalom test dari pada jalan Negara. Belok-belok ga karuan.

Saat kembali ke Labuan Bajo ini, gue mutusin buat memisahkan diri dari grup. Mereka akan ke Wae Rebo, gue akan ke Ruteng dengan Hans dan Risto (saudaranya Yoland). Secara fisik gue belom recovery, dan jalan yang akan ditempuh menuju Wae Rebo dari Denge itu harus ditempuh jalan kaki dan menanjak. Katanya sih jaraknya sekitar 7km, dan bisa ditempuh sekitar 3-4 jam. Itu kalau loe atlit, suka hiking dan fisik fit. Orang biasa sih katanya sekitar 5 jam jalan, sementara kalau si pemandu dan orang asli setempat katanya bisa kurang dari 2 jam. Sementara kalau orang setengah kelenger kaya gue, mungkin naik bisa jalan, turunnya mungkin harus ditandu. He3…

Jadi mengingat alasan di atas, gue memutuskan untuk menuju Ruteng menggunakan motor. Daripada gue naik travel, gue pikir sih kayaknya lebih seru kalau naik motor. Alasan lainnya ya, gue suka kelenger alias mabok darat kalau naik mobil di jalan yang berliku-liku.

Jadilah setelah puas menikmati makanan di rumah makan Jawa dengan rasa yang rada aneh (kurang bumbu dan nasinya keras),  gue berpisah dengan grup. Mulailah petualangan gue yang rada beda dengan anggota grup yang lain. Perjalanan menggunakan sepeda motor menuju Ruteng.

Risto datang dengan motor bebek, lalu perjalanan pun dimulai. Jam 3an kami jalan dari Labuan Bajo. Setelah beli bensin eceran, dan ambil ayam hidup di rmuah salah satu kerabat Risto, perjalanan menuju Ruteng pun dimulai. Cuaca benar-benar tidak bersahabat. Hujan mulai deras, memaksa gue buat pakai jas hujan. Sementara jaket gue gue pinjemin ke Yoland, praktis gue Cuma pake kaos lengan panjang dan syal abu-abu favorit gue. Dingin gila…

Gue pikir jalanannya akan terus seperti jalanan di Jawa, yang ridak terlalu berkelok-kelok. Ternyata setelah memasuki kawasan pegunungan, jalanan di Nagrek itu bisa dibilang sepertinya terasa sangat normal. Gila, belokannya bukan lagi seperti huruf S, tapi lebih sering U. Lebih dari sejam kami jalan mendaki, diguyur hujan dan kabut tebal.

Sempat bertanya sama Risto “sudah berapa kali kau lewati rute ini dengan motor?” “

“Ini baru pertama kalinya abang…”

Untung ya, lagi jalan berkelok-kelok licin itu (sebelah kanan tebing, kirinya jurang) dia kan konsentrasi tuh, jadi dia ga bs tau ekspresi muka gue yang berubah pucet. Seketika gue langsung berasa gue beriman banget, berdoa gitu deh…

Ini jalanan emang serem banget ya. Berkelok-kelok patah-patah gitu, menanjak, hujan, dingin, berkabut, tapi pemandangannya keren abis. Gunung-gunung dan lembah yang mulai berkabut itu kayak lukisan. Jadi kalau liat iklan yang bilang di flores “air su dekat”, itu iklan tepu banget. Ini mah yang ada air dan lahan menghijau dimana-mana. Subur banget.

Satu jam lebih jalan nembus hujan dan jalanan menanjak berkelok-kelok, kami berdua sampai di Lembor. Beda banget, disini jalannya datar dan lurus-lurus. Kiri kanan sawah-sawah yang menguning. Kalau udah pernah liat sawah yang bentuknya “Spider Web”, nah semua sawah disini bentuknya seperti itu. Sayangnya karena datarannya flat, maka rada susah lihat pola secara keseluruhan. Butuh sedikit imajinasi.

1387788079233-Edit
Pesawahan di Lembor, polanya seperti Spider’s Web

Sampai di Lembor, kami berhenti dulu di warung makan. Hilang semua rasa kenyang gue saat berangkat. Laper berat deh ya, secara sepanjang perjalanan gue rada kedinginan. Untung aja pakai jas hujan, jadinya sedikit lebih hangat.

Kami makan di warung nasi yang ternyata milik seorang ibu dari Makassar. Porsinya dong ya, porsi ngajak berantem. Itu porsinya kayak loe makan di warung padang, plus nambah nasi dua. Banyak banget nasinya, gue yakin kalo warteg aja minder ma porsi tu warung nasi.

Gue makan pakai sop ikan. Kuahnya yang warnanya kuning itu seger banget. Asem-asem pedes gitu. Mirip kuah tom yam. Cuma tidak se “spicy” tom yam. Seger banget deh, dan relatif murah. Kami makan berdua tidak sampai Rp. 25rb.

Udah kenyang, lanjut lagi perjalanannya. Cuaca sedikit bersahabat sampai sejam berikutnya. Cuaca berubah mendung dan matahari pun mulai tenggelam di barat. Jalanan mulai temaram. Sementara jalanan mulai memasuki jalan pegunungan lagi. Jalan mulai berkelok-kelok dan tidak lama hujan mulai turun.

1387793118102-Edit
Jalanan menuju ke Ruteng yang berkelok-kelok, berkabut dan licin diguyur hujan.

Praktis selama kami jalan di daerah pegunungan, hujan terus mengguyur kami. Suhu yang dingin karena hujan dan angin, bikin ayam yang kami bawa terbungkam. Tadinya masih bisa berciap-ciap, sekarang sepertinya pasrah kedinginan. Hanya meringkuk di kantung plastik yang tergantung di jok motor.

Kali ini tantangannya beda, jalannya berliku, hujan, licin, dan gelap. Sama sekali tidak ada penerangan jalan. Sisi kirinya tebing, dan sisi kanannya jurang. Penerangan hanya mengandalkan lampu motor. Sadis… Tapi seru…

ACE_1292-Edit
Jalanan yang licin berkelok-Reuteng.

Menjelang melewati gunung terakhir, ada motor dengan pengendara sableng. Bayangin aja, jalanan gelap, berkelok-kelok, dan dia ga punya lampu apapun yang menempel dimotornya. Dia Cuma mengandalkan lampu dari motor kami yang berjalan didepannya. Gilaaaa…

Mendekati Ruteng, jalanan sudah mulai terang. Karena menjelang natal, jalanan menuju pusat kota dihiasi lampu-lampu natal. Indah banget. Kota Ruteng memang mayoritas beragama Katolik, makanya suasana natal disini sangat meriah. Bahkan di pusat kota ada pohon beringin besar yang dihias dengan lampu warna-warni. Sempet masuk tv diklaim sebagai pohon natal terbesar di Indonesia. Keren…

Berangkat sekitar jam 3 sore dari Labuan Bajo, Sampai di Ruteng sekitar jam 7 malam. Datang sebagai tamu ke rumah temen gue, yang penghuninya ga ada yang gue kenal dalam kondisi lepek. Komentar orang tua Yoland, “Kamu gila ya? Naik motor hujan-hujan 135Km buat kemari? Kenapa ga naik travel aja?” Dan gue cuma senyum-senyum aja. “Naik travel ga seru Om, naik motor baru terasa beda perjalanannya.”

Setelah makan malam dan ngobrol sejenak, mamanya Yoland nyuruh gue tidur aja. Mungkin dia ngeliat mat ague yang udah 5 watt. Ngantuk gila, secara perjalanan hari ini bener-bener nguras tenaga. Laut bergejolak sampai hujan angin sepanjang perjalanan darat.

Kasur, bantal, selimut tebal… Waktunya tidur kawan. Cuaca Ruteng yang dingin banget mirip Bromo, bikin kasur dan selimut tebal sedikit terlalu posesif. Waktunya kembali pengsannnn….

*To be continued